USTADZ, saya seorang wanita yang akan menikah. Karena beberapa alasan,
saya tidak mencintai lelaki yang akan saya nikahi tersebut. Ustadz,
apakah dibolehkan dalam Islam suami isteri hidup bersama tanpa melakukan
hubungan badan? Apa kedudukan isteri seperti itu dalam Islam?
MT
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saudari MT, berikut kami kutip dari islamqa.ca.,
Pertama:
Tidak dibolehkan dalam syariat, sepasang laki-laki dan perempuan yang
tidak memiliki ikatan perkawinan untuk hidup serumah. Karena itu
menyerupai suami isteri yang tidak melakukan jimak sebagai sepasang
kekasih adalah penyerupaan yang kurang tepat.
Kedua:
Kepada sepasang suami isteri tersebut hendaknya memahami bahwa di antara
tujuan paling agung dari pernikahan adalah menjaga kemaluan, kehormatan
diri dan lahirnya keturunan. Itu semua tidak terwujud tanpa adanya
jimak.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam justeru menganjurkan menikah
dengan wanita subur, bahkan dia melarang sebagian shahabatnya menikah
dengan wanita yang mandul.
Dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu anhu dia berkata, “Seseorang datang
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Aku
mendapatkan seorang wanita yang memiliki harta dan kedudukan, hanya saja
dia tidak melahirkan, apakah aku boleh menikahinya? Maka beliau
mencegahnya. Kemudian datang yang kedua, beliau pun melarangnya,
kemudian datang yang ketiga, beliau pun melarangnya. Kemudian beliau
bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ (رواه النسائي . (وصححه الألباني في ” صحيح الترغيب 1921)
“Nikahilah wanita subur dan penuh kasih sayang, sesungguhnya aku akan
bangga dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. Nasa’i, no. 3227, Abu Daud,
no. 2050. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Targhib, no.
1921)
Lihat penjelasan tentang hadits ini dalam jawaban soal no. 32668, lihat pula jawaban pada soal 13492
Adapun berkumpulnya sepasang suami isteri dalam satu rumah tanpa
melakukan jimak, perkara ini dapat terjadi dan dibolehkan jika sepasang
suami isteri sudah tua dan tidak memiliki syahwat lagi satu sama lain.
Adapun jika keduanya masih memiliki syahwat jimak, bagaimana keduanya
dapat berkumpul tanpa satu sama lain saling memenuhi syahwatnya? Kemana
dia akan menyalurkan syahwatnya apabila tidak dia salurkan kepada siapa
yang telah Allah halalkan baginya?
Demikian juga dapat dibayangkan kejadiannya dan dibolehkan apabila sang
isteri masih muda, namun dia ridha bersuamikan orang yang impoten atau
usianya sudah tua. Begitu pula sebaliknya, yaitu jika seorang laki-laki
menikah dengan wanita yang memiliki kelainan tidak memiliki syahwat atau
tidak dapat dijimak, sedangkan dia mampu bersabar seraya berharap
pahala dari Allah, atau dia punya isteri lainnya untuk menyalurkan
syahwatnya.
Ketiga:
Para ahli fiqih telah membedakan masalah ini menjadi dua bagian;
1. Disyaratkan saat menikah tidak halal bagi keduanya berjimak. Syarat
ini tidak sah, maka batal pula akadnya. Ini adalah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama.
2. Disyaratkan dalam akad nikah bahwa tidak terjadi jimak. Dalam masalah
ini ada perinciannya; Pendapat yang paling kuat bahwa akadnya sah tapi
syaratnya batil, tidak dianggap dan tidak bernilai, baik syaratnya dari
suami, atau isteri atau dari keduanya.
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 44/45)
Para ulama membedakan dalam menghukumi antara kedua kondisi di atas.
Kondisi pertama, tidak dihalalkan berjimak, sedangkan kondisi kedua,
disyaratkan tidak melakukan jimak.
Penjelasannya adalah sebagai berikut;
Jika disyaratkan dalam akad pernikahan bahwa jimak tidak dihalalkan,
artinya sang suami setelah menikahi isterinya, sang isteri tidak halal
baginya, maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa
syarat ini tidak sah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat pengaruh dari
syarat tersebut terhadap keabsahan akad. Dalam masalah ini ada dua
pendapat;
Pertama: Mayoritas ahli fiqih dari mazhab Syafi’i,Maliki dan Hambali
bependapat bahwa syarat dan akadnya tidak sah. Karena syarat tersebut
cacat dan kontradiktif dengan tujuan pernikahan. Karena dengan syarat
itu, pernikahan menjadi tidak memiliki makna, sehingga bagaikan akad
palsu.
Kedua: Mazhab Hanafi berpendapat bahwa syaratnya rusak, sedangkan
akadnya sah. Karena ada kaidah di kalangan mazhab Hanafi bahwa
pernikahan tidak dapat dibatalkan dengan syarat yang rusak. Sedangkan
syarat hanya dapat membatalkan apa yang di luar akad.
Adapun jika disyaratkan dalam akad nikah tidak melakukan jimak, maka
para fuqoha berbeda pendapat dalam hukumnya menjadi tiga pendapat;
1. Pendapat mazhab Hanafi dan Hambali, yaitu akadnya sah dan syaratnya
digugurkan. Syaratnya digugurkan karena bertentangan dengan tujuan akad
dan mengandung gugurnya hak yang seharusnya diwajibkan karena akad jika
tidak disyaratkan demikian. Adapun akadnya tetap sah, karena syarat
tersebut merupakan bagian yang dilebihkan dari akad, maka dia tidak
membatalkan. Kaidah dalam mazhab Hanafi adalah bahwa pernikahan tidak
dapat dibatalkan dengan syarat yang rusak, akan tetapi syarat hanya
membatalakn apa yang terdapat diluar akad.
2. Pendapat mazhab Maliki, yaitu bahwa syaratnya rusak dan akadnya juga
rusak. Karena terjadi dalam bentuk yang dilarang menurut syariat.
Kemudian kalangan Maliki berbeda pendapat tentang akibatnya apabila
telah terjadi. Ada yang berpendapat bahwa pernikahan dibatalkan, baik
sebelum terjadi hubungan atau sesudahnya. Ada pula yang berpendapat
bahwa pernikahan dibatalkan apabila belum terjadi hubungan, dan
ditetapkan apabila terjadi hubungan badan, dan syaratnya digugurkan.
Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki.
3. Mazhab Syafi’i berpendapat, apabila syarat tidak terjadi jimak, atau
tidak boleh jimak kecuali di siang hari atau hanya sekali saja,
misalnya, maka pernikahannya batal, jika syarat itu berasal dari pihak
perempuan, karena bertentangan dengan tujuan pernikahan. Jika syaratnya
bersumber dari sang suami, maka tidak mengapa, karena jimak merupakan
haknya. Dia boleh meninggalkannya. Sedangkan memberikan pelayanan
merupakan kewajiban isteri, maka dia tidak boleh meninggalkannya.”
Ketiga.
Seorang wanita hendaknya tidak rela dengan pernikahan semacam ini, dan
seharusnya bagi seorang laki-laki tidak setuju dengan wanita yang tidak
menginginkan jimak di antara mereka berdua. Hendaknya mereka berdua
mengetahui bahwa hal ini bertentangan dengan fitrah yang lurus. Allah
telah menciptakan bagi setiap laki-laki untuk memiliki kecenderungan
terhadap wanita. Begitu pula wanita diciptakan memiliki kecenderungan
terhadap laki-laki.
Sebagian orang ada yang menyalurkan syahwatnya ke jalan yang haram,
sebagian ada yang menyalurkannya ke jalan yang halal. Pernikahan
merupakan ajaran Allah yang dengannya dibolehkan bagi laki-laki dan
wanita bertemu dan saling memberikan kasih sayang, lalu dari mereka
Allah jadikan anak keturunan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُمْ
مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (سورة
النحل: 72)
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة الروم: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Pernikahan juga merupakan sunnah para rasul alaihimusshalat was-salam, dan mereka adalah manusia yang paling utama.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً (سورة الرعد: 38)
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS.
Ar-Ra’d: 38)
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ
ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ (سورة آل عمران: 38)
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku,
berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya
Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali Imran: 38)