Dalam kehidupan berumah tangga, paling ideal suami mencari nafkah dan istri membereskan segala keperluan keluarga.
Terutama tentu saja mengatur keuangan. Masih terbilang ideal juga apabila baik suami maupun istri bahu-membahu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Baik suami maupun isteri memiliki penghasilan, dengan persentase penghasilan istri sifatnya membantu atau menyokong atau memperkuat keuangan keluarga dari penghasilan suami.
Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana apabila penghasilan istri lebih banyak atau bahkan si suami sama sekali tak berpenghasilan dan hidup sepenuhnya dari penghasilan istrinya? Bagaimana hukumnya di dalam Islam?
TOLERANSI DAN EMPATI ANTARA SUAMI ISTERI
Idealnya, antara suami dan isteri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan isteri harus tetap terjaga.
Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik isteri. Begitu pun sebaliknya, isteri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Betapa indahnya, apabila seorang isteri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, isteri Ibnu Mas’ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.
Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihnya, ia berkata:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه : …جَاءَتْ زَيْنَبُ
امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ
ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا
نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي
حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ
أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ
زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ
“Dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu : … Zainab, isteri Ibnu Mas’ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: “Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab,” beliau bertanya,”Zainab yang mana?” Maka ada yang menjawab: “(Zainab) isteri Ibnu Mas’ud,” beliau menjawab,”Baiklah. Izinkanlah dirinya,” maka ia (Zainab) berkata: “Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku,” Nabi bersabda,”Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menambahkan:
نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah.”
Penempatan hadits di atas oleh al Bukhari dalam (Bab zakat terhadap kaum kerabat, bab zakat kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat tathawwu’ (sukarela).
Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban muzakki (yang berkewajiban membayar zakat).
Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban isteri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, suami tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada isterinya. Adapun anak-anak, nafkah mereka menjadi tanggungan ayah mereka, bukan pada ibu mereka, selama sang ayah masih ada.
Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas :
1. Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2. Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari isterinya dibandingkan dengan orang lain.
3. Isteri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4. Sedekah isteri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.[14]
Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah. Yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang isteri bagi suaminya