Seorang wanita, yang notabene sejak kecil sudah diajari untuk mandiri (bukan princes) dan selama sekolah menjadi siswa berprestasi dan lulusan terbaik (cumlaude), merasa harga dirinya terluka ketika dia dianggap tidak selevel dengan suaminya oleh beberapa oknum.
"Kamu beruntung, lhoh,"
"Suamimu itu ngenakin kamu,"
"Dulu kan Fulan mau diambil mantu presiden, tapi dianya gak mau dan milih kamu,"
"Bersyukurlah menikah dengan suamimu,"
Bukannya dia kufur nikmat. Toh,
sejatinya dia memang bahagia menikah dengan laki-laki yang sangat
mencintainya dan bertanggung jawab. Tapi apa perlu kalimat itu ditujukan
padanya terus menerus seperti berdzikir?
Sebagai wanita normal yang masih dalam
proses ingin jadi lebih baik, tentu kalimat seperti itu sebenarnya
sangat menusuk hati. Terlebih ketika ia teringat pernah diterima tanpa
tes di sebuah perusahaan internasional karena menjadi lulusan terbaik,
tapi tidak ia masuki karena suaminya melarang. Sang suami lebih ridho
dia di rumah dan berkarya dari situ dan dia pun enggak
mempermasalahkannya.
Ego yang terluka dan harga diri yang
tersakiti sangat sulit untuk kembali, apalagi jika tidak pernah memulai
lebih dulu. Apa dia dianggap sampah yang dipungut, itu sebabnya selalu
dibilang beruntung, beruntung dan beruntung. Andai saja Rasulullah masih
hidup, ingin sekali wanita itu menangis dan mengadu pada Kanjeng Nabi.
Ilustrasi II:
Seorang wanita yang bekerja di sebuah
instansi merasa sudah mengorbankan segalanya dan berbuat apa saja, tapi
yang ia terima adalah sebaliknya. Ketika dibutuhkan, dibaiki. Ketika
sudah tidak dibutuhkan, dibuang. Entah karena dia yang terlalu lugu apa
gimana, yang jelas dia selalu diperalat. Habis manis sepah dibuang.
Padahal, wanita ini sangat pintar dan menjunjung tinggi prinsip kerja
dari hati, bukan cari muka.
Sahabat Ummi, selain dua contoh
ilustrasi di atas masih banyak ilustrasi lain yang bisa kita temukan
sendiri di dunia nyata yang pada intinya sama: ego kita terluka karena
ulah pihak ketiga.
Bukan bermaksud mencari pembenaran,
tapi sebenarnya adalah wajar jika sebagai manusia biasa kita sempat atau
pernah terbersit perasaan semacam itu, "Udah melakukan banyak hal, tapi
kok gak dihargai ya,"
That's why, kita perlu banyak bermuhasabah dan energi fitrah kebaikan kita tetap terjaga.
Mari kita renungkan sejenak, Sahabat Ummi.
1. Manusia adalah makhluk yang berpotensi suka ingkar
Sudah dijelaskan dalam salah satu ayat
Al-Qur'an bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berpotensi
suka mengingkari nikmat. Jika sama Allah saja kufur, apalagi cuma sama
makhluk Allah. Dengan mengingat ini, ego kita akan melemah dan justru
kitalah yang berusaha ingin memperbaiki diri agar tidak termasuk manusia
yang ingkar.
2. Mari ingat kisah para nabi
Siapa nabi yang tidak pernah
menderita? Tidak ada. Nabi Muhammad, Nabi Ayyub, Nabi Yusuf, Nabi
Ibrahim, dan semua nabi mendapatkan cobaan yang jaaauuuh di atas kita,
tidak bisa dinalar. Sanggupkah kita diberi penyakit dan kehilangan
segalanya seperti Nabi Ayyub? Sanggupkah kita berpisah jarak yang
saangaatt jauhh dan tidak bisa berkomunikasi seperti Nabi Ibrahim?
Sanggupkah kita difitnah lalu dipenjara seperti Nabi Yusuf? Ternyata,
apa yang menimpa kita memang belum seberapa dan kita pun memang tidak
sanggup jika ditimpa cobaan yang sama.
3. Mari ingat kisah para pahlawan
"Bangsa yang besar adalah bangsa menghargai jasa para pahlawannya,"
Jika tidak ada mereka, bisakah kita
merdeka? Tidak. Sayangnya, banyak generasi muda yang tidak menghargai
pahlawan yang jelas-jelas mengorbankan nyawa. Bahkan kenal saja enggan.
Astaghfirullah.
4. Ego yang tinggi cerminan hati masih sombong walau terselubung
Ego yang tinggi sejatinya karena merasa tinggi. Na'udzubillah.
5. Diam bukan berarti pasrah
Diam saat disakiti bukan berarti
pasrah, tapi memang tidak ada gunanya kita balas. Apa bedanya. Kita
adalah apa yang kita katakan. Kalau sahut-sahutan atau saling membalas
terus apa bedanya?
Sahabat Ummi, Allah tidak pernah
tidur. Kita pasrahkan saja kepada-Nya. Semoga kita bisa, ya. Jadikan
momen sakit hati untuk "balas dendam" dengan cara menjadi pribadi lebih
baik lagi, pribadi mandiri, dan dekat dengan-Nya. Aamiin.
Penulis:
Miyosi Ariefiansyah alias @miyosimiyo penghuni www(dot)rumahmiyosi(dot)com adalah istri, ibu, penulis, & pembelajar.