Orang-tua, Janganlah Abaikan Anak Usia 7 Th. yang Tidak Mau Shalat
“Ayah serta Ibu tak minta apa-apa kepadamu, Nak. Kalian bahagia serta baik ibadahnya, kami telah suka. ” Demikianlah nurani umumnya orang-tua. Tidak ada pamrih apapun pada hari esok buah hatinya. Harapannya dalam mengasuh yaitu yang paling baik dunia akhirat untuk anak, namun apakah kebaikan itu menjelma jadi sosok anak-anak yang sesuai sama harapan?
Anak Tidak Sesuai sama Harapan
Tak tahu termasuk juga sisi dari sinyal tanda akhir jaman atau tak, namun kita dapat lihat begitu banyak anak yang telah akil baligh, makin dewasa bukannya memperingan orang-tua, jadi jadi beban berkelanjutan. Kelihatannya bukanlah hal yang susah temukan remaja saat ini yg tidak hormat serta gampang memerintah orang-tua, bermental rapuh serta kekanak-kanakan, berperilaku keras, pemarah, bahkan juga saat telah menikah masihlah butuhbantuan orang-tua. Walau sebenarnya, orang-tua bakal makin menua. Kemampuannya dalam penuhi keperluan anak tidak lagi sekuat dahulu.
Keikhlasan orang-tua dalam memberi apapun yang anak perlukan, bukanlah saja bakal jadi memperburuk kwalitas kepribadian anak, namun dapat juga jadi bumerang untuk orang-tua. Mengasuh dengan ikhlas bukanlah bermakna memanjakan atau membebaskan anak berbuat semua, menyadari serta senantiasa membela tingkah laku menyimpangnya, atau saat dewasa anak bisa pilih jalan hidup sesukanya. Lantaran kelak kita bakal di tanya, telah sesuai sama ketentuan Allah serta Rasul-Nya-kah kita memperlakukan amanah-Nya ini?
Awalannya, Meremehkan Shalat
Konsultan keluarga samara, Dr H Ade Purnama, MA, memberikan indikasi kalau fenomena anak-anak yang rapuh ini sebenarnya berawal dari kekeliruan orang-tua dalam mengemban amanah atau mendidik. Dalam ajaran Islam, anak-anak telah diperintahkan untuk shalat mulai sejak umur 7 th.. Itu berarti, sebelumnya 7 th. dia telah diajari mengenai shalat. “Jika umur 5-6 th. anak belajar shalat, masuk umur 7 th. dia telah dapat di ajak shalat, ke masjid telah tak mesti diminta. Jadi tahapannya, umur 5-6 th. diajari, 7 th. diminta, 8-9 tahunsosialisasi, 10 th. telah harus shalat, ” terang Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Jakarta Utara ini.
Shalat, tambah Ade, yaitu pendidikan basic mulai sejak awal. Ini tunjukkan pendidikan mengenai mental spiritual. Jauh sebelumnya anak diajari mengenai ilmu dan pengetahuan dalam artian sains, nyatanya mental spiritual itu telah ditanamkan sebelumnya 7 th.. Bila ini dipraktikkan, akan tidak ada generasi yang rapuh mentalnya. Akan tidak ada anak-anak yang dengan cara umur telah besar, namun dengan cara mental kekanak-kanakan. Mengapa? “Karena pendidikan shalat sebagai cermin pendidikan spiritual itu telah tertanam bahkan juga sebelumnya 7 th.. Umur 10 th. dia telah dewasa dengan cara ruhiyah. Bila telah dewasa dengan
cara ruhiyah, selanjutnya tinggal
diajari beberapa hal yang terkait dengan aqliyah, pengetahuan ilmiah, ”
tegasnya. Tersebut jawaban kenapa banyak anak rapuh dengan cara mental.
Islam jadikan shalat sebagai barometer pendidikan mental seorang. Tak aneh saat Umar ra menginginkan mengangkat seseorang gubernur, beliau bakal senantiasa bertanya bagaimana shalat berjamaahnya si Fulan. Bila bagus, barulah dilantik. Saat teman dekat ajukan pertanyaan apa jalinan pada shalat serta jabatan gubernur? Beliau menerangkan, “Shalat itu amanah Allah, bila amanah Allah dia jagalah, amanah manusia bakal dia jagalah. Bila amanah Allah telah diabaikan, terlebih amanah yang lain.
Dengan cara fitrah, manusia mesti penuhi tiga segi keperluan dasarnya, yakni ruhiyah, jasadiyah, serta aqliyah. Bila keperluan jasadiyah tercukupi dengan sandang-pangan-papan, serta aqliyah tercukupi dengan pendidikan resmi serta nonformal, jadi ruhiyah cuma dapat dipenuhi dengan beribadah serta dzikrullah. Berikut yang bertindak dalam ingindalian diri seorang hingga melahirkan kematangan jiwa serta kedewasaan, meskipun ia tak berpendidikan tinggi.
Saat Anak Mengecewakan
Riset menunjukkan kalau rusaknya tingkah laku yang berlangsung pada anak, banyak dikarenakan oleh tak harmonisnya jalinan orang-tua serta anak. Bila di satu segi banyak orang-tua yang permisif pada anak, di segi lain banyak juga orang-tua yang otoriter, kurang dapat dengarkan masukan serta memaafkan kekeliruan anak. Orang-tua gampang emosi serta menyalahkan anak saat ada hal yang tidak cocok dengan kehendaknya.
Emosi yang sering menghiasi pola asuh pada anak, menurut Ade, tunjukkan belum ada kesadaran serta keikhlasan di hati orang-tua dalam melakukan perintah Allah itu. Manusia mana juga tidak pernah terlepas dari salah, terlebih seseorang anak. Jadi saat merasakan kekeliruan dari seseorang anak, orang-tua semestinya senantiasa melapangkan dada untuk berikan maaf. Sikap keras serta kasar jadi bakal jadikan anak jadi lebih kasar seperti yang ia saksikan dari orangtuanya.
Namun, lebih Ade, kita mesti membedakan pada memaafkan dengan tak membiarkan kekeliruan. Saat anak lakukan kekeliruan, terang mesti dimaafkan. Tak mesti senantiasa dihukum, namun perlihatkan kekeliruannya. “Orangtua yang semakin banyak memaafkan anak serta meluruskan kekeliruannya tambah baik dari pada yang banyak menghukum namun tak pernah mengingatkan kekeliruan, ” terang dosen di sebagian universitas ini.
Lantas hingga kapan orang-tua harus mengingatkan serta mengarahkan anaknya? “Sampai menikahkan anaknya, orang-tua tak harus lagi mendidik anaknya, baik lelaki ataupun wanita. Saat seseorang anak lelakimenikah, dia jadi pemimpin ; saat anak wanita menikah, dia di pimpin oleh suaminya. ”
Tetapi sudah pasti nasehat serta arahan orang-tua hingga kapan juga tetaplah utama untuk hidup seseorang anak. Cuma posisinya, saat si anak telah menikah, nasehat orang-tua lebih pada nasehat seseorang Muslim pada saudaranya.
Karena itu, janganlah tinggalkan anak yang lemah di belakang kita. Asah kekuatan mengemban amanah Allah semaksimal mungkin saja supaya anak benar-benar dapat jadi investasi hari esok orangtuanya.
Meutia Geumala
Wawancara : Didi Muardi
Photo ilustrasi : google
Sekiranya bermanfaat tolong dibagikan artikel ini, semoga dicatat sebagai amal ibadah....Amin....!!!
Islam jadikan shalat sebagai barometer pendidikan mental seorang. Tak aneh saat Umar ra menginginkan mengangkat seseorang gubernur, beliau bakal senantiasa bertanya bagaimana shalat berjamaahnya si Fulan. Bila bagus, barulah dilantik. Saat teman dekat ajukan pertanyaan apa jalinan pada shalat serta jabatan gubernur? Beliau menerangkan, “Shalat itu amanah Allah, bila amanah Allah dia jagalah, amanah manusia bakal dia jagalah. Bila amanah Allah telah diabaikan, terlebih amanah yang lain.
Dengan cara fitrah, manusia mesti penuhi tiga segi keperluan dasarnya, yakni ruhiyah, jasadiyah, serta aqliyah. Bila keperluan jasadiyah tercukupi dengan sandang-pangan-papan, serta aqliyah tercukupi dengan pendidikan resmi serta nonformal, jadi ruhiyah cuma dapat dipenuhi dengan beribadah serta dzikrullah. Berikut yang bertindak dalam ingindalian diri seorang hingga melahirkan kematangan jiwa serta kedewasaan, meskipun ia tak berpendidikan tinggi.
Saat Anak Mengecewakan
Riset menunjukkan kalau rusaknya tingkah laku yang berlangsung pada anak, banyak dikarenakan oleh tak harmonisnya jalinan orang-tua serta anak. Bila di satu segi banyak orang-tua yang permisif pada anak, di segi lain banyak juga orang-tua yang otoriter, kurang dapat dengarkan masukan serta memaafkan kekeliruan anak. Orang-tua gampang emosi serta menyalahkan anak saat ada hal yang tidak cocok dengan kehendaknya.
Emosi yang sering menghiasi pola asuh pada anak, menurut Ade, tunjukkan belum ada kesadaran serta keikhlasan di hati orang-tua dalam melakukan perintah Allah itu. Manusia mana juga tidak pernah terlepas dari salah, terlebih seseorang anak. Jadi saat merasakan kekeliruan dari seseorang anak, orang-tua semestinya senantiasa melapangkan dada untuk berikan maaf. Sikap keras serta kasar jadi bakal jadikan anak jadi lebih kasar seperti yang ia saksikan dari orangtuanya.
Namun, lebih Ade, kita mesti membedakan pada memaafkan dengan tak membiarkan kekeliruan. Saat anak lakukan kekeliruan, terang mesti dimaafkan. Tak mesti senantiasa dihukum, namun perlihatkan kekeliruannya. “Orangtua yang semakin banyak memaafkan anak serta meluruskan kekeliruannya tambah baik dari pada yang banyak menghukum namun tak pernah mengingatkan kekeliruan, ” terang dosen di sebagian universitas ini.
Lantas hingga kapan orang-tua harus mengingatkan serta mengarahkan anaknya? “Sampai menikahkan anaknya, orang-tua tak harus lagi mendidik anaknya, baik lelaki ataupun wanita. Saat seseorang anak lelakimenikah, dia jadi pemimpin ; saat anak wanita menikah, dia di pimpin oleh suaminya. ”
Tetapi sudah pasti nasehat serta arahan orang-tua hingga kapan juga tetaplah utama untuk hidup seseorang anak. Cuma posisinya, saat si anak telah menikah, nasehat orang-tua lebih pada nasehat seseorang Muslim pada saudaranya.
Karena itu, janganlah tinggalkan anak yang lemah di belakang kita. Asah kekuatan mengemban amanah Allah semaksimal mungkin saja supaya anak benar-benar dapat jadi investasi hari esok orangtuanya.
Meutia Geumala
Wawancara : Didi Muardi
Photo ilustrasi : google
Sekiranya bermanfaat tolong dibagikan artikel ini, semoga dicatat sebagai amal ibadah....Amin....!!!
CAR,FOREX,DOMAIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN