Sumber Gambar
“HAPPY PASSOVER”, demikian
bunyi ungkapan hari libur pada hari ke-8 dalam tradisi orang Yahudi.
Kata itu terpampang pada sebuah tempat perbelanjaan. Bukan di Indonesia,
tapi di Amerika Serikat. Di sebelah kirinya terdapat gambar Bintang
David, simbol Negara Yahudi. Tulisan dan simbol yang dibingkai dalam
papan penunjuk produk itu, diletakkan berjajar di bagian atas rak-rak.
Di bawahnya tersusun aneka produk yang sudah kosher. Bersih dan rapi,
Selain di tempat perbelanjaan modern, kosher juga terdapat di
kedai-kedai, restaurant, mini market, catering, hingga pedagang kaki
lima. Begitu pentingnya kosher hingga dibentuk club-club kosher.
Kosher dalam terminologi Yahudi adalah makanan atau hewan yang boleh
dimakan atau dikonsumsi. Dalam penerapannya, kosher melebar ke pilihan
warna, bahwa untuk bangunan rumah, corak boleh beragam, asal putih,
khususnya di Yerusalem.
Sebutan lain dari kosher adalah kashrut, atau kasher. Sedangkan lawannya yang tidak boleh dimakan disebut trefa atau trayfah.
Dalam Webster World University Dictionary, disebutkan bahwa kosher atau kashrut/kasher adalah ceremonially clean; conforming to Jewish dietary law.
Kosher adalah istilah dalam hukum tentang makanan agama Yahudi. Sesuai
dengan halakha (hukum Yahudi) suatu makanan disebut kosher (istilah
bahasa Inggris, dari istilah bahasa Ibrani kasher, yang berarti “layak”
(dalam konteks ini berarti layak untuk dimakan orang Yahudi).
Di New York, Amerika Serikat, terdapat tidak kurang 300 kosher.
Demikianpun, toko atau tempat perbelanjaan kosher juga tersebar di
negara-negara bagian di negara Paman Sam, yang perekonomiannya
dikendalikan oleh kaum Yahudi itu. Kosher bahkan telah merambah ke
berbagai tempat di Eropa.
Perbedaan Antara Halal dan Kosher
Lalu apa perbedaan antara kosher dengan halal dalam Islam?
Bila dilihat sekilas nampak adanya kesamaan. Kosher, kashut atau kasher,
adalah suatu produk yang boleh dimakan sedangkan trefa atau trayfah,
adalah jenis produk yang dilarang dikonsumsi. Hal ini mirip dengan
pengertian halal-haram dalam agama Islam.
Misalnya lagi, kosher tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan
dan minuman. Selain itu hewan (sapi, kambing, domba, dll) harus
disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh dimatikan
dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam binatang buas.
Karena kemiripan pengertian dua istilah itu, maka orang-orang Yahudi
mempromosikan bahwa kosher foods adalah makanan yang halal bagi Muslim.
Karena sudah ada sertifikat kosher, maka tidak perlu lagi sertifikat
halal untuk produk tersebut.
Pengertian ini kemudian dikampanyekan dan disebarluaskan ke seluruh
dunia. Di Amerika Serikat, konsumen kosher foods jauh melebihi jumlah
konsumen pemeluk Yahudi Ortodok, yang menghendaki makanan kosher. Hal
ini disebabkan karena kaum Muslim dan Kristen Advent juga ikut menjadi
konsumen makanan kosher.
Kaum Yahudi sangat getol memperkenalkan kosher foods ke segenap penjuru
dunia, dengan sasaran utama umat Islam. Dengan demikian posisi tawar
sertifikasi kosher semakin meningkat di mata para produsen makanan.
Yahudi sudah membangun gagasan kosher sejak tahun 1967. Padahal, jumlah
penduduk Yahudi dunia pada saat itu hanya 12 juta jiwa, sementara Muslim
pada waktu itu sudah mencapai 700 juta jiwa. Kini umat Islam dunia
sudah mendekati angka 1,8 miliar orang.
Meski jumlah penduduknya sangat sedikit, masyarakat Yahudi begitu kuat
menekan dunia bahwa setiap makanan, minuman, obat, dan kosmetika yang
dikonsumsinya harus sudah mendapatkan sertifikat kosher.
Mereka (masyarakat Yahudi) begitu cerewet dan peduli terhadap kosher
ini, sehingga adanya produk pangan yang tidak bersertifikat kosher akan
ditolak mentah-mentah, baik yang masuk ke negara Israel maupun yang
dikonsumsi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia.
Dengan sikap kritis dan peduli inilah, maka lembaga sertifikasi kosher
dapat menekan para produsen agar berproduksi sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah mereka tetapkan.
Proses sertifikasi kosher ini, menurut pengakuan para pelaku bisnis,
sangatlah rumit dan berbelit-belit. Jauh lebih kompleks dibandingkan
dengan persyaratan halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI, misalnya.
Sebagai contoh, dalam proses penyembelihan hewan, mereka harus mengawasi
benar tata cara penyembelihan seperti yang mereka inginkan. Bukan saja
para penyembelihnya yang harus diawasi dengan ketat, tetapi juga
potongan-potongan dagingnya juga diawasi, karena mereka tidak makan
bagian-bagian tertentu dari karkas.
Masyarakat Yahudi menginginkan agar umat Islam memakan kosher foods, tetapi mereka sendiri tidak mau mengkonsumsi halal foods. Itu artinya kendali ekonomi dunia akan mereka kuasai, bukan saja dalam skala makro, tapi juga yang menyangkut kebutuhan harian orang per orang, khusus konsumen Muslim. Mereka juga berkeinginan mempopulerkan istilah kosher dalam perdagangan internasional.
Tidak Serupa, Tidak Sama
Meskipun sekilas mirip antara halal dan kosher, sebenarnya keduanya
berbeda. Ada barang haram yang masuk kategori kosher, sebaliknya ada
juga makanan halal yang masuk dalam kategori treyfah.
Sebutlah misalnya, anggur (wine) ia termasuk minuman yang masuk dalam
kategori kosher tetapi tidak halal. Begitu juga semua jenis gelatin
(tanpa memandang terbuat dari tulang atau kulit hewan apa, termasuk
babi) dan semua jenis keju (tanpa melihat cara dan proses pembuatannya)
termasuk kosher tapi tidak halal dalam Islam.
Daging tetap kosher, meskipun proses penyembelihannya tidak menyebutkan
nama Allah (Jehovah Elohim). Mereka berkeyakinan bahwa tidak pantas
menyebut nama Tuhan yang Suci di tempat penyembelihan hewan yang kotor
(rumah potong hewan).
Perbedaan tersebut membawa implikasi yang sangat luas dalam konteks
makanan halal. Produk-produk yang mengandung gelatin bisa saja dianggap
sebagai makanan kosher. Demikian juga minuman yang mengandung alkohol
seperti wine, yang oleh ajaran Islam jelas-jelas haram, di kalangan
Yahudi masih diperbolehkan dengan kadar tertentu.
Di sisi lain, ada juga makanan yang halal dan thayib menurut Islam,
tetapi tidak kosher menurut Yahudi. Contohnya adalah kelinci, unggas
liar, ikan yang tidak bersirip atau bersisik, kerang, dan tidak boleh
makan daging bersama susu kecuali waktu makannya terpisah. Selain itu
potongan-potongan daging tertentu, meskipun dari hewan yang halal, juga
dianggap tidak kosher.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa halal berbeda dengan kosher foods
milik Yahudi. Keduanya berangkat dari landasan filosofis dan ideologis
yang berbeda. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mendorong
pasar/konsumen Muslim yang lebih optimis terhadap produk-produk halal
yang nilainya terus meningkat di seluruh dunia?
Walahu'alam Bishawab
CAR,FOREX,DOMAIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN