Masih ingat, ketika itu senja masih lugu, dan daun-daun yang gugur digembala angin muson, menuju musim penghujan–tempat petrichor dihujani pujian. Sore itu kita bertemu, dan dua cokelat panas membungkam suara kita. Atau sebenarnya, khawatirku yang tak mau bicara.
Aku tak bisa membedakan, karena yang kutahu, aku hanya ingin diam dan mencuri aroma tubuhmu tanpa jera, selagi bisa. Sebab memang, jika harus dipaksa bicara, hanya harapan yang akan tersampaikan, dan kutahu, itu tidak akan membuatmu nyaman. Sore kala itu cukup dingin, dan kain rajut hadiah dariku yang membalut tengkukmu, kuharap bisa menyampaikan hangat, yang mungkin tidak pernah sempat aku berikan. Karena bagaimana jika, sore ini adalah yang terakhir kalinya kita berjumpa? Sebisa mungkin, aku harus siap dengan kemungkinan itu, bukan?
Lalu perlahan, sang surya mati dengan jemawa, diselimuti pendar cahaya, di mata yang terlalu takut menunjukan yang sebenarnya. Senja pergi bersama kesedihan yang tertahan. "Tak boleh ada airmata untuk sebuah perpisahan", kata hatiku. Entah siapa yang pantas dikatakan pergi, kau yang akan menikah dengan seseorang yang kau pilih, atau aku yang tetap menjadi pecundang, bahkan sampai di kesempatan terakhir yang kumiliki. Tapi yang kutahu, cinta seharusnya membahagiakan, bukan? Maka kubiarkan kau bahagia dengan pilihanmu.
"Sampai kapan, kita akan diam begini?", katamu, membangkukan lamunanku. "Kau masih ingat awal perkenalan kita?", tanyaku, terkejut. "Iya, waktu itu aku masih siswa baru, dan tersesat di koridor sekolah hahaha!", kau tertawa. "Lalu kamu datang dengan sikapmu yang dingin, menarik tanganku, dan membawaku ke dalam kelas. Waktu itu kamu ketua kelas, kan?", lanjutmu. Aku hanya bisa tersenyum. Lalu kau terdiam, menatap bias lampu jalan lewat jendela.
"Aku rindu situasi kala itu", katamu. "Aku juga rindu, setiap perbincangan kita di atap sekolah", sahutku. Seketika itu juga, kau menatap mataku dalam. Ada pertanyaan yang tak dapatku terka di kerut keningmu. Kita sama-sama diam. Lalu perlahan-lahan kau melepas gelang akar yang pernah kuberikan, dari lenganmu. "Ini aku kembalikan, maaf, kamu tidak berhasil membuat takdirmu sendiri". Katamu .
"Jaga dirimu baik-baik".
Sambil memakaikan gelang itu di lenganku. "Aku pamit". Beberapa tahun yang lalu, di sebuah atap gedung sekolah. Langit begitu cerah kala itu, dan mukaku semerah saga ketika memakaikan gelang akar yang kubuat, di lenganmu. "Aku akan membuat takdirku sendiri. Kelak, kita akan menikah, dan untuk sementara biarkan gelang ini mengikat nadimu, sampai kamu menjadi takdirku", aku tersenyum kala itu, dan meninggalkanmu di atap dengan sebuah tanda tanya.
Hari ini, aku berdiri tepat di hadapanmu. Gaun biru dan kulit putihmu, serupa langit dan awannya. Perlahan tapi pasti, hanya tinggal beberapa langkah lagi, kau akan pergi meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya. "apa kau bahagia?". Senyummu merekah, seakan mengajakku untuk ikut bahagia.
Dan tanpa disadari, aku menyambut senyummu, tanpa resah. Nyatanya kau berhasil memberiku alasan, untuk tidak menangis karena perpisahan. Tepat seperti pertemuan terakhir kita, beberapa hari yang lalu. Ketika senja telah ranum, bersama dua cangkir cokelat panas, dan sedikit pandang yang berbalas, kau melepas gelang akar yang pernah kuberikan. "Ini aku kembalikan, maaf, kamu tidak berhasil membuat takdirmu sendiri".
Katamu. "Jaga dirimu baik-baik". Sambil memakaikan gelang itu di lenganku. "Aku pamit". "Baiklah, tapi berjanjilah kepadaku untuk terakhir kalinya, beri aku satu alasan untuk tidak menangis karena perpisahan". Aku menahan lenganmu yang hendak beranjak. Kau hanya tersenyum lirih, dan pergi. Dan senyummu hari ini, mungkin untuk terakhir kalinya. Tapi alasanmu tersenyum, akan menjadi alasanku untuk tidak menangis karena perpisahan.
"Terima kasih, telah menepati janji", kataku lirih, sebelum akhirnya aku pergi.